"Nanti saja murajaahnya, nunggu pikiran tenang." Katamu dalam hati.
Setelah sepanjang siang melupakan murajaah, kau memilih tidur malam itu, berharap esok pagi bangun dengan semangat membara, dan berjanji akan menamatkan sekian juz yang sempat kau tunda. Tapi malam berlalu begitu cepat, bahkan terlalu cepat untuk sanggup mengusir gelisah yang terus bersarang dalam hati. Ketenangan itu tak hadir hingga pagi.
"Nanti saja-lah murajaahnya, pikiran masih gak karuan." Ujarmu memberi dispensasi pada diri, menyangka bahwa bahwa beberapa jam lagi, barangkali saat dhuha nanti, ketenangan itu akan datang sekaligus menepis rasa malas yang menyelimuti hati. Dhuha pun tiba, dan ketenangan itu tak hadir.
Lagi-lagi, dengan berat hati, kau menunda murajaah lagi. Pikirmu, tidak baik murajaah saat hati gelisah tak karuan. Lagipula, murojaah butuh ketenangan dan fokus tingkat tinggi. Begitulah seterusnya.
Satu penundaan akan melahirkan penundaan berikutnya. Pikirmu, tidak masalah menunda barang satu hari, toh hafalan belum sempat meninggalkan pergi.
Tapi tragisnya, satu hari yang kau sepelekan itu, telah mengundang ribuan alasan untuk melakukan penundaan lagi. Awalnya satu hari, lama kelamaan, satu minggu pun biasa. Hingga, tak terasa, hafalan lepas perlahan, karena tak sudi di-telantarkan seperti anak tiri. Yang lebih menyakitkan, kau tak lagi tergerak untuk memperjuangkan hafalan itu lagi. Kau bingung, kenapa semangat itu tak sama lagi. Padahal, kau sendiri yang telah membunuhnya perlahan. Tapi pasti! Akhirnya, kau sadar. Satu hari yang kau sepelekan itu, telah menciptakan keburukan yang tidak sederhana: Hafalanmu hilang, bersama semangat perjuangannya yang sekarat meregang nyawa.
Karena itu, dengarkan nasihat ini: Barangkali, pagi ini, kau menunda murojaahmu dengan dalih semangat yang belum terpatri, lalu berjanji melakukannya sore hari nanti. Tapi, kau tak boleh melupakan satu hal, bahwa sore nanti, belum tentu akan datang menyapamu lagi. Dan, kalau pun datang, seberapa besar keyakinanmu bahwa semangatmu sedang tak pergi? Dan, bagaimana jika malaikat maut datang lebih dahulu, memaksa kita melepaskan dunia ini, sedangkan kita tengah megabaikan Al-Quran?
Barangkali, siang ini, kau berniat menunda murojaahmu karena pikiran sedang tak tenang. Tapi biar kuluruskan, bahwa alangkah bodohnya para penghafal Quran yang menghindar dari hafalannya dengan dalih pikiran tak tenang, sedangkan ia tahu bahwa Al-Quran-lah sumber ketenangan.
Barangkali, hari ini, kau hendak menunda murojaahmu karena kesibukan yang tak bisa kau abaikan. Tapi, biar kuberitahu, jika kita memang tak pernah menyediakan waktu spesial untuk Al-Quran, sudah pantaskah kiranya diri ini disebut penjaga Al-Quran? Apakah penjaga Al-Quran melebihkan dunia dalam hidupnya ketimbang Al-Quran-nya?! Lagipula, kapan dunia akan berhenti menyibukkan hidup kita dari akhirat? Apakah, saat akhirnya kita meninggalkan dunia nanti, kita baru mau sadar, bahwa Al-Quran yang ada dalam ingatan kita ini, Ia-lah sejatinya kebahagiaan yang kita cari selama ini..
Telegram: @hijrah_lillah
Tiada ulasan:
Catat Ulasan